Mengakses Energi Universal dan Cahaya Ilahi dalam Diri

BismillahirRahmaanirRahiim
Salam Sejahtera bagi semua

Dear All,

Jika kita bisa menjaga hati dan pikiran kita dari lintasan-lintasan ego dan hawa nafsu atau dalam bahasa para Walisongo disebut KALI-JAGA (baca: Menjaga “Aliran” {bahasa simbolik jawanya: “KALI”} lintasan bersitan pikiran dan hati kita) melalui PancaLAKU, maka kita meskipun bukan mursyid, murid, salik ataupun bukan anggota thariqat manapun jua, i’nsya Allah dapat pula akses ke AIR KEHIDUPAN PENGETAHUAN SPIRITUAL yang tak pernah habis mengalir melalui kalbu kita masing-masing. AIR KEHIDUPAN itu adalah CAHAYA LATHO’IF (HALUS) PETUNJUK-PETUNJUK SPIRITUAL.

Berdasarkan pengalaman pribadi saat SMP, yos remaja kaget ketika pertama kali membacakarya Imam Al-Ghazali Misykat al-Anwar. Apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali secara “sublim” (tidak secara detail deskriptif simbolik) adalah sama dengan apa yang si yos kecil juga pernah “saksi”-kan dalam kalbunya sendiri melalui CAHAYA LATHO’IF antar usia 8 tahun sd sekitar 12 tahun itu, tanpa pernah membaca buku Imam Al-Ghazali bahkan tidak pernah kenal nama Imam Al-Ghazali sebelumnya. Maklum waktu kecil di Jerman hingga kembali ke Indonesia saat kelas 5 Grundschule (SD), nama Al-Ghazali asing di telinga yos karena tidak pernah disebut sewaktu tinggal di Jerman. Kemudian saat SMA di Depok, si yos terhenyak saat pertama kali baca tulisan Jalal’uddin Rumi qs Fihi Ma Fihi. Apa yang disampaikan Rumi qs. secara “sublim” (tidak secara detail deskriptif simbolik) adalah sama dengan apa yang si yos juga “saksi”-kan dalam kalbunya sendiri melalui CAHAYA LATHO’IF antar usia 12 tahun sd sekitar 18 tahun itu, tanpa pernah membaca karya Rumi sebelumnya. Kemudian saat lulus kuliah dan mulai kerja di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI, si yos kembali terhenyak ketika bersentuhan untuk pertama kali dengan ulasan-ulasan tentang tulisan Ibn A’rabi qs. Lagi-lagi apa yang disampaikan Ibn A’rabi qs. secara “sublim” (tidak secara detail deskriptif simbolik) adalah sama dengan apa yang si yos juga “saksi”-kan dalam kalbunya sendiri melalui CAHAYA LATHO’IF tanpa pernah mengetahui pandangan-pandangan spiritual Ibn A’rabi qs. sebelumnya.

Ibaratnya, jika FAKTA SPIRITUAL itu berada di tengah-tengah pusat lapangan, maka Imam Al-Ghazali menyaksikannya dari arah Timur, Jalal’uddin Rumi dari arah Utara, Ibn A’rabi dari arah Barat, dan si yos dari arah Selatan. Maka meskipun apa yang kami saksikan adalah FAKTA yang sama, namun karena kami menyaksikannya dari posisi/tempat pandang yang beda, maka redaksi kami dalam mengungkapkan FAKTA SPIRITUAL itu pun beda. Beliau-beliau lebih suka nulis pakai “simbol-simbol” sehingga bisa membingungkan orang awam bahkan dituduh “kafir” oleh kaum konservatif skriptualis. Sedangkan kalau si yos lebih suka nulis apa adanya, faham tidak faham dikembalikan kepada pembaca.

Demikian pula Bayazid al-Bisthami, Abdul Qadir al-Jailani, Baha’uddin Syah Naqsyband, Ibn Atha’illah dan para Mursyid lintas Thariqat lainnya mengungkapkan FAKTA SPIRITUAL berbeda-beda, bukan karena menyaksikan FAKTA yang beda, namun karena beliau-beliau menyaksikan dari posisi (maqom) yang beda. Ibarat sederhananya, jika FAKTA SPIRITUAL itu berada di tengah-tengah pusat lapangan, maka Bayazid al-Bisthami menyaksikannya dari arah Tenggara, Abdul Qadir al-Jailani dari arah Timur Laut, Baha’uddin Syah Naqsyband dari arah Barat Laut, dan Ibn Atha’illah dari arah Barat Daya. Sedangkan Imam Al-Ghazali menyaksikannya dari arah Timur, Jalal’uddin Rumi dari arah Utara, Ibn A’rabi dari arah Barat, dan si yos dari arah Selatan.

Maka selepas kuliah penulis tertarik baca uraian-uraian para mursyid lintas 40 lebih thariqat, BUKAN UNTUK MENDAPAT SUATU YANG BARU, tapi sekadar UNTUK MENCOCOKAN apakah “sisi” FAKTA SPIRITUAL yang beliau-beliau “saksikan” sama atau tidak dengan apa-apa yang di-“saksi”-kan oleh si yos dari posisi (maqom) yang beda. Atau dalam bahasa Catatan Harian Membuka Hati (CHMH):

A’udzu billahi minasy-syaithonir-rajiim
BismillahirRahmanirRahim

Bentuk, wujud, struktur, warna luar lampion beda-beda
namun Sumber Cahaya yang menerangi dari dalam setiap lampion adalah sama,….. sayang,
belum semua dapat melihat dan merasakan nikmat Cahaya itu
Dan andai “melihat” yang dilihat bukan warna benderang Cahaya yang sama
Dan andai merasakan yang dirasakan bukan kesejukan, kelembutan, kehangatan yang sama
Tiada keseragaman dalam pengalaman dan pemahaman karena kapasitas
HATI-Jiwa-Batin untuk menerima dan menyerap beda-beda
Meski Cahaya yang dilihat dan yang dinikmati masing-masing adalah Cahaya yang Sama
Cahaya Suci Keabadian! Memberangus segala ke-“aku”-an, kemelekatan
Yang tersisa hanya: kesejukan, kedamaian, kehangatan, pencerahan, KEBAHAGIAAN!
dalam relung diri paling dalam dan untuk semua.
Bagi yang belum menemukan akan memperdebatkan,
bagi yang sudah menemukan tiada lagi Perdebatan.
Kebenaran Tertinggi tak terucapkan tapi terasakan Tersalurkan dalam
Perbuatan Kasih Suci yang Mulia kepada semua makhluk-Nya tanpa
membedakan, tanpa menuntut balasan, tanpa menuntut perubahan karena
siapa yang telah tersentuh oleh perbuatan kasih suci-nya akan berubah
dengan sendirinya tanpa diminta, dari batu tiada harga menjadi permata tiada ternilai
Tak perlu mengungkapkan telah “melihat”, menemukan, merasakan Cahaya itu,
kan terungkapkan sendiri dalam kata-kata, tulisan dan amal perbuatan sehari-hari
yang terus diliputi oleh Kasih Agung Paling Indah, Paling Menawan hati yang Suci.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala penjuru dan pada jiwa-batin mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa dia itu benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.”
( QS. Fushshilat, ayat ke-53 )

Bahasa tidak dapat mengungkapkan puncak pengalaman spiritual namun alhamdulillah semakin spiritualis seseorang, maka semakin ia tidak terikat lagi oleh bahasa. Bagi para spiritualis sejati, hanya dengan melihat secara fisik wajah-wajah orang-orang saleh, makam-makam, catatan-catatan, jejak-jejak keberadaan atau peninggalan-peninggalan orang-orang saleh, maka para spiritualis sejati ini sudah dapat dan sangat mudah sekali merasakan vibrasi getaran-getaran spiritual latha’if yang terpancar dari manusia-manusia ataupun arwah-arwah orang saleh itu, masuk ke dalam kalbunya dan bersamaan dengan itu ilham-ilham spiritual akan mengalir deras dan “nampak” memberi petunjuk-petunjuk kebajikan dalam kalbunya, memberi insight-insight, pemahaman-pemahaman hikmah-hikmah spiritual baru tanpa pernah mereka baca dari buku-buku sebelumnya. Atau minimal mereka akan merasakan vibrasi getaran-getaran kesejukan spiritual masuk ke dalam kalbu mereka. Mereka tdak lagi terikat pada bahasa tapi pada Dzawq (CITA RASA SPIRITUAL KEBATINAN). Sederhananya, ketika sholat di belakang imam, mungkin kita tidak tahu arti dari bacaan surat-surat Al-Qur’an yang dalam bahasa arab itu, namun kita merasa nikmat dan tentram mendengarkan dan mengaminkannya, itulah setetes mini-kecil DZAWQ.

Ketika hati sudah bersih oleh PancaLAKU, maka apapun yang kita dengar, lihat, sentuh, cium baunya ataupun rasakan sepanjang TIDAK DIHARAMKAN syariat, bisa membawa/mendatangkan kenikmatan-kenikmatan halus sekaligus insight-insight, pemahaman-pemahaman hikmah-hikmah spiritual baru tanpa perlu kita baca dari buku sebelumnya, ke dalam BATIN kita, karena DZAWQ kita telah bekerja berkat PancaLAKU.

Siapa pun jika hatinya sudah bersih berkat PancaLAKU maka DZAWQ-nya meningkat dan dapat merasakan sangat nikmat sejuknya arus deras pengetahuan-pengetahuan spiritual mengalir dalam kalbunya yang berasal/diteruskan melalui kalbu-kalbunya Guru-Guru Kudus, para nabi-nabi Allah dan orang-orang suci laki-laki maupun perempuan: Siti Khadijah ra. (CAHAYA Ilmu yang berasal/diteruskan melalui kalbunya berwarna KUNING), Siti Fatimah Az-Zahra ra. (CAHAYA Ilmu yang berasal/diteruskan melalui kalbunya berwarna MERAH KEEMASAN), Bunda Maria/Maryam bint I’mraan as (CAHAYA Ilmu yang berasal/diteruskan melalui kalbunya berwarna PUTIH), Bibi Asiyah bint Muzahim (CAHAYA Ilmu yang berasal/diteruskan melalui kalbunya berwarna HIJAU). Semoga Allah mengampuni saya dan merahmati kita semua.

“Dan Allah membuat isteri Fir’aun (Asiyah bint Muzahim ) perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim”. Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.”
( QS. At-Tahriim, ayat ke-11 sd ke-12 )

amiin

~ Yos W. Hadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *